Online Bekasi, Bekasi Selatan – Gerimis jatuh satu-satu, begitu awet seolah sengaja ditahan di langit kelabu. Sekitar 20 laki-laki berjalan beriringan menyusuri jejak langkah peradaban Kota Bekasi di masa silam. Sembari berdiskusi, mereka menziarahi bangunan demi bangunan, tempat demi tempat bersejarah, di seputaran Alun-Alun Kota Bekasi.
“Jelajah Wisata Alun-Alun Bekasi” diadakan oleh Komunitas Historia Bekasi (KHB) pada Ahad (9/10) sore itu. Komunitas yang beranggotakan sekitar 50 orang ini mempunyai misi mengenalkan sejarah Kota/Kabupaten Bekasi kepada masyarakat luas. Tak banyak orang tahu bahwa Kota Bekasi yang dikenal juga sebagai Kota Patriot merupakan garda depan front pertempuran tentara Republik Indonesia melawan penjajah Belanda. Seluruh pengetahuan itu dikemas dengan agenda bulanan rutin berupa diskusi dan jelajah.
“Jelajah Alun-Alun Bekasi ini sudah yang kedua. Bulan lalu, kami ke Cibarusah, Kabupaten Bekasi, di sana ada Masjid al-Mujahidin, yang pada tahun 1720-an di peta Belanda masjid itu sudah ada,” ujar Ketua Komunitas Historia Bekasi, Endra Kusnawan, kepada Republika, Ahad.
Kurang lebih ada 12 titik bersejarah di seputaran Alun-Alun Bekasi yang disambangi dalam jelajah wisata ini. Titik pertama ialah kantor kewedanaan Bekasi era kolonial, yang sekarang letaknya di belakang Mapolres Metro Bekasi Kota, Jalan Pramuka. Terpampang sebuah pemandangan miris ketika sampai di sana, bekas kantor kewedanaan Bekasi itu sedang dihancurkan untuk diganti bangunan baru.
“Dulu itu kantor kewedanaan pertama di Bekasi. Saya kaget tadi. Kok sudah di-hancurin,” kata Endra geram.
Daun jendela kayu gaya lama dan batu bata yang berserakan menjadi saksi bisu. Bangunan itu pada zaman berikutnya sempat digunakan sebagai kantor polisi.
Beranjak sekitar 100 meter dari bekas kantor kawedanaan Bekasi, ada SDN Margajaya I. Menurut Endra, SDN Margajaya I ini merupakan sekolah rakyat pertama di Bekasi. Kawasan yang kini menjadi Alun-Alun Bekasi dahulu adalah pusat pemerintahan sehingga tak heran bila banyak tempat bersejarah di sana.
Di lokasi itu pula, terjadi pembunuhan terhadap 22 tentara Inggris pada 25 November 1945 silam. Pembunuhan itu hanya selang dua hari setelah pesawat yang berisikan 25 tentara Inggris mendarat di Cakung. Satu tentara tewas setelah mendarat, dua tentara tewas disiksa dalam perjalanan dari Cakung ke Bekasi, sedangkan 22 lainnya berakhir di tangan para pejuang Bekasi.
Oleh para pejuang Bekasi, mayat tentara Inggris tersebut dikuburkan di pinggir Kali Bekasi yang mengalir di belakang kantor kawedanaan. Sepekan kemudian, tepatnya 1 Desember 1945, mayat 22 tentara Inggris itu ditemukan dalam kondisi rusak parah dan tak dapat dikenali. “Ini menimbulkan kemarahan Inggris terhadap para pejuang Bekasi,” kata Endra.
Sejarah membuktikan, keberanian para pejuang Bekasi tak pernah kenal kompromi terhadap penjajah. Pada 13 Desember 1945, pecahlah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Bekasi Lautan Api. Bekasi luluh lantak akibat serangan bom dari udara dan dentuman meriam bertubi-tubi. Tentara Inggris masuk merebut kota setelah seluruh bangunan dihancurkan.
Bergeser beberapa ratus meter, tibalah di lahan parkir depan Mapolres Metro Bekasi Kota. Tempat itu menjadi saksi bisu pelaksanaan hukum gantung bagi para petani pada 24 Agustus 1870. Para petani tersebut menjalani hukum gantung setelah melakukan pemberontakan terhadap tuan tanah Tambun pada 3 April 1869.
“Lokasi penggantungan kurang lebih di tempat kita berdiri. Menghadap ke arah sana (arah Alun-alun Bekasi.red),” ujar Endra seraya memeragakan.
Dia menerangkan, pemberontakan para petani Tambun ini lebih dahulu pecah dibandingkan pemberontakan petani Banten (1890). Waktu itu, para petani memberontak untuk menyatakan kekecewaan kepada tuan tanah yang berlaku sewenang-wenang.
Sumber: ROL