Online Bekasi, Bekasi Selatan – Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional atau GP Jamu Indonesia memprotes pemberlakukan regulasi kepengurusan perizinan oleh Kementrian Kesehatan disamakan dengan industri farmasai.
“Penyamaan regulasi serta birokrasi itu cukup memberatkan bagi pengusaha jamu tradisional,” kata Ketua Umum GP Jamu Indonesia, Dwi Ranny Pertiwi Zarman di Bekasi, Rabu (7/12).
Ia mengatakan, dampak dari sulitnya kepengurusan perizinan tersebut membuat ratusan industri jamu kecil harus gulung tikar. Sebab, biaya yang harus dikeluarkan lebih tinggi ketimbang pendapatan mereka.
“Biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti regulasi pemerintah menjadi masalah pokok bagi pengusaha jamu kecil,” katanya.
Akibat regulasi yang diterapkan tersebut, pihaknya khawatir dampak yang terjadi tidak hanya pelaku usaha jamu yang gulung tikar, namun memburuknya perekonomian masyarakat kecil di tengah lesunya ekonomi Indonesia belakangan ini.
“Sebetulnya, kami sebagai pelaku industri jamu tidak keberatan jika pemerintah memberlakukan regulasi, tapi harus ada klasifikasi terhadap pelaku usahanya,” kata Ranny.
Ia meminta agar pemerintah tak menyamaratakan proses regulasi. Soalnya, tiap-tiap pelaku usaha memiliki kemampuan modal yang berbeda. Ia mencontohkan, beberapa kasus yang melibatkan industri jamu kerap terkendala dalam urusan birokrasi.
“Segala kepengurusan untuk industri jamu masih harus melalui kebijakan pusat. Padahal, banyak sekali pelaku usaha jamu berasal dari daerah di luar Jakarta, untuk ke Jakarta membutuhkan biaya cukup besar,” kata dia.
Selain itu, kata dia, industri jamu sulit bersaing dengan jamu tradisional dari luar negeri. Sebab, biaya ekspor lebih mahal mencapai Rp 30 juta ketimbang biaya impor yang hanya Rp 5 juta.
“Saya sudah menyampaikan hal ini DPR RI, dan mendapatkan tanggapan positif. Kami berharap pemerintah memberikan perhatian khusus bagi kami pelaku industri jamu,” ujarnya. (fiz)
