Online Bekasi – Blue Print penyelesaian konflik, sebutlah demikian yang ada pada proses pembangunan Gereja Santa Clara yang berlokasi di Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat, tidak bisa semuanya ditetapkan atau diselesaikan oleh pemerintah Pusat ataupun pihak pihak luar.
Seandainya ada, penyelesaian konflik tidak bisa diselesaikan tanpa melihat kondisi obyektif lokalitasnya, baik latar belakang historis, warisan sejarah hingga konteks lokal kontemporer daerah itu.
Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya-upaya mengefektifkan kembali perangkat-perangkat budaya sosial yang ada sebagai modal sosial dan kultural.
Peta persoalan terkini dalam situasi dimana eskalasi konflik penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah Santa Clara berada pada pada posisi puncak hingga terjadi caos dalam aksi unjuk rasa dari masa yang megatasnamakan Forum Silaturahim Umat Islam Bekasi pada Jumat (24/3/2017) antara peserta unjuk rasa penolak dengan aparat kepolisian.
Satu sisi aparat keamanan dibenarkan untuk melakukan tindakan memberikan peringatan kepada pihak-pihak yang menolak dan bertikai dengan tujuan menghentikan pihak yang bertikai dan tidak melanjutkan konflik.
Namun demikian langkah itupun harus diimbangi dengan upaya-upaya preventif melalui mediasi dan perundingan.
Hingga saat ini persepsi yang muncul di publik terhadap kasus Santa Clara adalah, adanya prasangka negatif terkait prosedur yg ditempuh. Dari dasar itulah kemudian kita baik pemerintah dan masyarakat kurang mampu mengurainya dalam tahapan-tahapan penyelesaian.
Kita selalu dihadapakan dengan penyelesaian konflik melalui jalur peradilan. Maka pihak-pihak yang berselisih dalam posisi berhadap-hadapan, posisi menuntut dan di tuntut.
Hal ini justru akan memperuncing persoalan, sebab posisi keduanya menjadi kawan dan lawan, atau pihak yang dianggap benar dan salah. Sekalipun jalur peradilan merupakan wadah yang tepat untuk membatalkan suatu produk hukum.
Artinya konflik sebaiknya di dorong pada penyelesaian non litigasi dari pada litigasi. Kita tidak pernah di dudukkan bersama dalam satu meja perundingan untuk saling mengetahui dan memahami akar masalahnya masing-masing dari persoalan yang ada.
Singkatnya setiap pertikaian atau konflik yang ada tidak pernah tuntas di selesaikan di tingkat bawah.
Saya rasa harus ada peran dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) beserta Lembaga Pemerintah yang terintegrasi yaitu gabungan dari berbagai unsur, seperti Polri, TNI, Kesbangpol, Kejaksaan, Kementrian Agama, ditambahkan kaum Akademisi, dan Pakar Hukum untuk dapat menjadi perekat sehingga kohesi sosial yang sesungguhnya itu bisa terwujud.
Maka tepat kiranya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Lembaga Pemerintah yang terintegrasi dapat menjadi mediator atau lembaga yang memediasikan kedua belah pihak, baik kelompok yg menolak atau pun Panitia Pembangunan Gereja itu sendiri, untuk benar-benar mengurai persoalan yang ada dan sekaligus merekatkan kohesi sosial masyarakat Bekasi.
Tentunya dalam perundingan ini tidak juga terlepas dari peran Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat serta pemilik kebijakan dalam hal ini Pemkot Bekasi.
Dimana upaya penyelesaian dilakukan dengan memadukan segala kebutuhan kelompok-kelompok berselisih sehingga tidak ada gesekan yang terjadi saat dialog perundingan berjalan.
Dalam hal teknis perundingan ini bersifat perwakilan yang representatif, baik itu Tokoh Agama atau Tokoh Masyarakat.
Selanjutnya konflik tersebut bisa selesai apabila para pihak serius dan konsekuen menanggapi dan melaksanakan dengan baik dan benar, maka konflik itu pun dapat selesai,semangat berdampingan dengan penuh toleransi.
Harapannya, mudah-mudahan hasilnya akan bisa diterima oleh sebagian besar pihak.
Bukan seperti api dalam sekam, sesaat diredam tanpa ada keseriusan dari pihak-pihak seperti Pemerintah Kota Bekasi sendiri untuk menyelesaikan dengan tuntas bukan malah dikemudian hari konflik tersebut muncul kembali.
Oleh : Budi Santoso
Pemerhati Sosial