Demokrasi memiliki keistimewaan mendasar, yakni terjadinya sirkulasi elite politik dalam rentang waktu tertentu. Siapapun memiliki kesempatan yang sama berada di puncak selama memenuhi ketentuan sesuai konsensus (baca: regulasi) yang menjadi pondasi dalam proses sirkulasi politik. Peran masyarakat untuk menentukan kepemimpinan dan evaluasi politik mendapat ruang.
Kurang dari setahun, tepatnya 27 Juni 2018, Provinsi Jawa Barat akan menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Gubernur dan Wakil Gubernur. Bersamaan dengan Pemilihan Walikota-Wakil Walikota dan Bupati-Wakil Bupati yang digelar di 16 kota/kabupaten yang ada di provinsi tersebut. Bagi penyelenggara Pemilu (KPUD) dan pengawas Pemilu (Panwaslu) tentu ini bukanlah perkara mudah menghadapi dua arena sekaligus.
Selain soal kesiapan sumberdaya, instrumen, dan infrastruktur Pemilu, untuk menjamin kesukesan Pemilu Kada, titik krusial yang perlu mendapat perhatian lebih adalah upaya melibatkan masyarakat dalam melakukan pengawasan partisipatif.
Pengawasan Partisipatif
Secara teoritik, partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) (Miriam Budiarjo; 1982). Dalam konteks Pemilu, definisi ini mengalami perluasan makna. Semata-mata agar warga negara tidak terjebak pada bentuk demokrasi prosedural yang hanya diukur dari besar-kecilnya jumlah pemilih.
Mas’oed dan MacAndrews (2000) menyebut segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pemilihan merupakan bentuk partisipasi politik. Keduanya, secara spesifik, menyebut salahsatunya adalah kegiatan mengawasi pemberian dan penghitungan suara. Dalam konteks pemilu pasca reformasi, pengawasan ini dimulai dari keikutsertaan warga negara, baik individual maupun kelompok, untuk terlibat mengawasi jalannya setiap tahap dalam penyelenggaraan Pemilu.
Gagasan tentang pengawasan partisipatif bukanlah ide yang sama sekali baru. Bukan pula ditujukan untuk menggugat independensi penyelenggara dan pengawas pemilu yang pembentukannya di fasilitasi oleh negara. Ide ini bertujuan untuk menjembatani warga negara yang ingin memperluas aktivitas partisipasi politiknya agar tercapai Pemilu yang berlangsung secara adil bagi aktor-aktor politik yang berkontestasi dan memastikan berjalannya tiap tahap sesuai regulasi. Harapannya, Pemilu dapat menghasilkan sosok pemimpin yang dianggap ideal oleh mayoritas masyarakat.
Ketidakterlibatan masyarakat dalam proses pemilu, menurut Ahsanul Minan (2014), berpotensi menghasilkan konflik kekerasan (from election to violence) dan hilangnya kepercayaan rakyat atau apatisme terhadap demokrasi. Masyarakat perlu dilibatkan dalam aktivitas memastikan proses tahapan-tahapan Pemilu dengan cara mengumpulkan data, informasi, serta menginventarisasi temuan kasus terkait pelaksanaan Pemilu (Bawaslu RI; 2017). Secara lebih detail Minan menyampaikan adanya partispasi dalam memantau pelaksanaan pemilu, mencegah terjadinya pelanggaran, menyampaikan laporan pelanggaran Pemilu dan informasi dugaan pelanggaran Pemilu.
Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan partisipatif akan menjamin penyelenggaraan Pemilu Kada yang berintegritas dan berkredibilitas, mendorong transparansi, meminimalisasi pelanggaran, dan memberikan legitimasi kuat.
Pengawasan dan Media Sosial
Upaya meningkatkan pengawasan partisipatif sudah pasti membutuhkan strategi jitu, mengingat selama ini pengawasan partisipatif umumnya hanya didominasi oleh kalangan civil society organization (lembaga pemantau Pemilu) dan pasangan calon dan /atau tim kampanye. Padahal tiap pemilih (individu) dapat memiliki peran yang sama dalam proses pengawasan dan pelaporan dugaan pelanggaran.
Dalam catatan penulis, setidaknya perlu ada terobosan strategis yang perlu dilakukan Bawaslu dan Panwaslu. Pertama, mensosialisasikan secara massif hak-hak masyarakat dalam keterlibatannya untuk melakukan pengawasan partisipatif. Gerakan ini dalam jangka panjang bertujuan untuk membiasakan masyarakat masuk ke dalam model demokrasi substansial.
Kedua, mentransformasikan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (skill) terkait bentuk-bentuk pelanggaran beserta tata cara pelaporan dan penangangan pelaporan. Bentuknya tidak hanya terpaku pada diskusi dalam ruang tertutup dengan peserta terbatas seperti yang selama ini kerap dilakukan. Melainkan juga menyasar melalui tulisan atau wawancara di berbagai media cetak dan digital, maupun audio-visual untuk mencakup populasi yang lebih besar. Hingga penyebaran brosur yang berisi sejumlah informasi terkait.
Ketiga, beradaptasi dengan kemajuan teknologi, khususnya pemanfaatan media sosial. Terdapatnya asumsi umum bahwa keengganan masyarakat terlibat karena munculnya kesan “rumit dan berbelit” harus dipatahkan. Dalam tulisan ini penulis menganggap bahwa media sosial dapat dijadikan sarana yang sangat memadai untuk mendongkrak keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan partisipatif.
Jumlah pengguna media sosial yang tinggi, kemampuan mengakses data, dan kecepatan waktu yang hanya sepersekian detik untuk menyampaikan laporan menjadi argumentasi pokok tulisan ini.
Penggunaan media sosial sebagai sarana pemberian informasi atau pelaporan awal dari masyarakat memang belum diatur secara khusus oleh Bawaslu RI. Perbawaslu Nomor 14 Tahun 2017 tentang Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Walikota secara tegas menyebut bahwa laporan dugaan pelanggaran disampaikan secara langsung di kantor Bawaslu atau Panwaslu setempat.
Pada konteks inilah dirasa perlu untuk membuat aturan tambahan, berupa prosedur penanganan laporan melalui media sosial, yang kompatibel dengan semangat pengawasan partisipatif di mana masyarakat merasakan adanya kemudahan.
Tulisan ini bersifat usulan, di mana ke depannya, laporan yang diterima melalui media sosial dapat direspon oleh Bawaslu dan Panwaslu secara pro aktif dengan memberikan feed back kepada pelapor. Melakukan verifikasi laporan, mendatangi pelapor atau taktik jemput bola mengingat tidak semua calon pelapor punya kesempatan atau mengalami hambatan berbeda, dan membuat laporan tertulis dengan mengisi formulir yang disediakan hingga laporan tersebut bisa ditindaklanjuti.
Dengan demikian, peningkatan pengawasan partisipatif oleh masyarakat benar-benar terjadi dan berkontribusi bagi penyelenggaraan Pemilu Kada yang berkualitas.
Oleh: Novita Ulya Hastuti (Ketua Panwaslu Kota Bekasi)
