Connect with us

Online Bekasi

Kisah Inspiratif Pendidikan: Tenda Koppasus Penghalau Gusuran

Pendidikan

Kisah Inspiratif Pendidikan: Tenda Koppasus Penghalau Gusuran

Ibu guru kembar dalam cuplikan film dokumenter "Dua Mawar Merah" yang diputar perdana di XXI Grand Metropolitan Mal, Bekasi

Online Bekasi.com – Ibu guru kembar, begitu sapaan-Sri Rosyati dan Sri Irianingsih. Dua perempuan bersaudara ini sangat konsisten dengan pendidikan untuk kaum marjinal. Sejak tahun 1990, Rossy dan Rian-begitu mereka dipanggil-mendirikan Sekolah Darurat Kartini.

Sekolah non formal itu untuk menampung anak-anak yang bermukim di bantaran rel kereta api maupun kolong tol di Jakarta. Soalnya, penduduk miskin di sana nyaris tak tersentuh pendidikan formal dari pemerintah.

“Mereka adalah kaum marjinal. Hak sama sebagai warga Indonesia, mendapatkan pendidikan,” kata Rossy di sela pemutaran film dokumenter “Dua Mawar Merah” yang mengisahkan perjalanan Sekolah Darurat Kartini di XXI Grand Metropolitan Mal, Kota Bekasi, Kamis (15/2).

Rossy mengisahkan, perjalanan Sekolah Darurat Kartini tidaklah mudah, banyak tantangan dihadapi. Sekalipun niat kedua guru itu sangat mulia. Tantangan paling sering dihadapi yaitu penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI.

“Kami sadar, bahwa tempat bermukim masyarakat ilegal. Di tanah negara. Tapi, anak-anak di sana mempunyai hak untuk belajar,” kata dia.

Sampai dengan tahun 2000-an, jumlah murid Sekolah Darurat Kartini mencapai ribuan, dengan berbagai jenjang. SD dan SMP. Tempat belajar mereka pun harus berpindah-pindah dari kolong tol satu ke kolong tol lain, maupun bantaran rel kereta api.

“Itu disebabkan karena ada penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta,” kata dia.

Suatu ketika di tahun 2006, kolong tol di kawasan Jakarta Utara harus ditertibkan. 1500 siswa Sekolah Darurat Kartini tak bisa belajar. Tenda-tenda portabel yang didirikannya pun kerap mendapat ancaman akan dibongkar paksa oleh pemerintah.

“Akhirnya saya meminta bantuan Koppasus, minta dibantu tenda. Alhamdulilah diberikan lima tenda besar,” kata dia.

Rossy dan Rian mempunyai kedekatan khusus dengan instansi tersebut. Sebab, keduanya juga menjadi pengajar di lingkungan TNI. Tanpa pikir panjang, tenda dengan tulisan Koppasus pun didirikannya.

“Sekalian saya adu dengan Koppasus kalau ada yang berani membongkar, akhirnya aman. Tidak ada yang berani membongkar dari pemerintah,” kata dia.

Menurut dia, selama enam bulan siswa Sekolah Darurat Kartini belajar di tenda milik Koppasus tersebut. Sebelum akhirnya menempati kolong tol maupun bantaran rel. Ini disebabkan keterbatasan biaya untuk membeli lahan guna mendirikan sekolah.

“Semakin ke sini, pemerintah semakin peduli, meski digusur tapi tetap diberikan solusi. Bahkan, saat ini pemerintah, TNI, dan Polri memfasilitasi. Sekarang jumlah murid Sekolah Darurat Kartini sekitar 300-an orang di Jakarta,” kata dia.

Meski sudah menginjak usai sepuh, Rossi dan Rian tetap berjuang demi pendidikan kaum marjinal. Tak hanya di Jakarta, hampir semua wilayah terpencil didirikan Sekolah Darurat Kartini. Ia bekerja sama dengan tentara, dan unsur lainnya membantu menjadi tenaga pendidik.

“Sekolah yang kami dirikan sebagian sudah diambil oleh pemerintah menjadi sekolah formal. Murid-murid dari Sekolah Darurat Kartini juga banyak yang sukses, jadi polisi, guru, dan lainnya,” kata Rian menambahkan.

Rossy dan Rian menuturkan, bahwa motivasi membuat sekolah tersebut karena teringat pesan dari orang tuanya yang merupakan pendidik. Menurut dia, ada pesan tersendiri agar keduanya memperjuangkan kaum marjinal memperoleh pendidikan.

“Waktu kecil saya ditunjukkan anak-anak di kolong tol. Kata bapak, itu adalah tugas saya. Ketika sudah besar, saya teringat kembali, dan termotivasi,” tuturnya. (fiz)

Klik untuk komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top