Connect with us

Online Bekasi

Merestrospeksi Peristiwa Karawang-Bekasi

Opini

Merestrospeksi Peristiwa Karawang-Bekasi

Stasiun Kranji, Bekasi, Desember 1946. Sebagai daerah demarkasi antara Sekutu dan Republik, para pelintas batas turun untuk diperiksa. Sumber Foto: Koenders/DLC-gahetNA-@potretlawas

“Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi, tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati?”

Pasase puisi berjudul Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar merupakan salah satu warisan sastra sarat sejarah. Narasi yang berangkat dari kesaksian gejolak revolusi menjadikan Bekasi sebagai daerah krusial. Terutama dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia pasca proklamasi.

Kedaulatan Indonesia sempat mendapat cobaan setelah Belanda kembali berusaha mengambil alih kekuasaan. Itu terjadi pada periode 1945-1949. Saat itu, Belanda menggunakan topeng Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA) untuk menguasai kembali daerah bekas jajahan mereka. Salah duanya adalah Karawang dan Bekasi yang masuk dalam rentetan peristiwa Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.

Pasca ultimatum terjadi, Belanda tak mengira jika Bekasi memiliki pertahanan yang sangat kuat. Kekuatan pertahanan Bekasi dikawal oleh laskar-laskar sipil yang sangat kuat. Keberedaannya cukup membikin Belanda keteteran. Bahkan kekuatannya membuat Belanda harus menggunakan tiga skema untuk menembus daerah yang paling sulit ditundukan itu.

Agresi militer pertama terjadi setelah Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati. Tak lama setelah kedua negara meneken kesepakatan, utusan Ratu Wilhelmina, Van Mook mengeluarkan ultimatum. Yang isinya adalah meminta pemerintah Indonesia menarik pasukan sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati.

Penolakan pemerintah Indonesia kemudian dibalas dengan agresi Belanda. Bekasi dan Karawang yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) menjadi daerah incaran. Namun, niat itu tak semulus target yang direncanakan.
Rencana Belanda agaknya sedikit “seret” ketik seorang ulama Bekasi, KH Noer Ali diperintahkan untuk bergerilya.

KH Noer Ali turun ke medan tempur setelah menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. KH Noer Ali kemudian mendirikan Komandan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah Jakarta Raya di Karawang.

Pasukan KH Noer Ali kerap melakukan psy war hingga kontak fisik. Amarah Belanda membara ketika ribuan masyarakat masyarakat Tanjung Karekok, Rawa Gede, dan Karawang membikik bendera merah-putih. Bendera berukuran kecil itu terpatri di setiap pohon dan rumah warga.

Petaka terjadi pada pagi hari. Tepatnya pada 9 Desember 1947. Pasukan Belanda masuk ke kampung-kampung. Di bawah pimpinan Mayor Alphons Wijjnen, pasukan yang diperlengkapi alat artileri memuntahkan pelurunya. Tepat di Desa Balongsari, pembataian itu terjadi. Di jalan utama desa tersebut, berdiri tegak sebuah monumen pengingat bernama Monumen Rawagede.

Menjaga Heroikisme Bekasi

Dari rentetan peristiwa besar itu, kini Bekasi telah beranjak menjadi daerah metropolitan. Segudang sejarah semakin menambah lengkap daerah yang telah memasuki modernisasi. Kendati demikian, perjuangan tentara-laskar dahulu kala kerap terabaikan. Itu terjadi lantaran tak banyak masyarakat yang mengetahui peristiwa genting pernah terjadi di daerah berjuluk Kota Patriot. Keistimewaan Bekasi bahkan telah terpatri dalam karya sastrawan besar,
Pramoedya Ananta Toer. Melalui buku Di Tepi Kali Bekasi, 1951, Pramoedya memaparkan peristiwa besar yang terjadi di Bekasi.

Pertumpahan darah membuat rakyat Bekasi berontak. Mereka enggan berlutut dan menyerahkan kedaulatan NKRI begitu saja. Peritiwa itu pun dianggap sebagai Roman Bekasi yang memiliki sarat sebagai penjabaran revolusi. Bekasi adalah garis demarkasi. Dari front Bekasi, Pramoedya merekam bangkitnya revolusi jiwa.

“Awal muda pemuda bersedia mempertaruhkan nyawa untuk keadilan social dan martabat manusia. Permulaan rakyat berani berhenti manut mengamba pada majikan colonial dan meraih kebebasan jiwa,” tulis Pramoedya.

Kini, dari kesaksian Pramoedya dapat dipertegas. Bahwa, sebagai warga Bekasi sudah sepatutnya mampu menjabarkan cita-cita tentara-laskar. Bahkan KH Noer Ali sekalipun. Agar Bekasi menjadi daerah yang memang patut dijaga. Terutama sejarahnya. Sehingga, generasi berikutnya tak “gagap” ketika menengok Bekasi ke masa lalu. Dalam restrospeksi itu, dapat disimpulkan. Yakni perjuangan rakyat Bekasi sudah seharusnya dipupuk dan dilanjutkan.

Penulis: Tim Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi

Klik untuk komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top